Kamis, 15 Juli 2010

Minggu, 05 April 2009

Membangkitkan Kembali Sastra Profetik

David Krisna Alka
http://www.sinarharapan.co.id/

Dalam membaca karya sastra khususnya puisi, mayoritas penikmat sastra mendambakan nuansa keindahan setelah membaca karya sastra. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi mereka, walau maksud dari puisi tersebut adalah kegetiran kata yang tak tampak pada kasatmata.

Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam merupakan bibit dari munculnya kesusastraan Melayu. Sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang; ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam itu, ilmu tasawuf yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam. Mengapa ilmu tasawuf disebut sebagai bibit dari corak sastra Islam?

Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Mereka berusaha mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan pengalaman pahit yang mereka derita.

Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu dalam dan mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.

Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal termasuk ladang garapan tasawuf. Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal. Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah berada di tangan para sufi.

Pengaruh tasawuf besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Dalam pengantar buku Tasawuf dulu dan Sekarang, Sayyid Husein Nasr (1985) menjelaskan, bahwa para sufi hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian, di mana keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.

Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah Fansuri merupakan pelopor sastra Islam yang bernuansa sufistik. Menurut penyair Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri merupakan cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.

Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi empat baris dengan pola sajak akhir aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual daripada al-Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

***
Dewasa ini, setelah perkembangan sastra dan tasawuf tampak seperti terbawa arus roda zaman. Para penyair yang sufistik beralih ke dalam nuansa yang sama namun tujuan yang berbeda untuk menuangkan sajak-sajak keindahan tersebut. Pekik zaman yang kian hari makin menggetirkan membuat para penyair seperti kehilangan kaki untuk melangkah. Bahasanya indah, tapi substansi puisinya seperti “orang-orang kalah.”

Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ada dua kubu sastra yang keduanya sah: sastra pembebasan dan sastra kemanusiaan. Kemudian Kuntowijoyo muncul dengan sastra transendental guna menggenapi isu sastra yang ada, dan sastra transendental itu juga sah. Sastra transendental mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak dan tidak melulu harus mengacu kepada penyair sufistik.

Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Lalu ketiga sastra itu (pembebasan, kemanusiaan, dan transendental) digabungkan oleh Kuntowijoyo menjadi sastra profetik, dalam arti melanjutkan tradisi kerasulan.

Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf itu memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar itu pembebasan, dan beriman kepada Tuhan itu transendental. Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik.

Sastra profetik, menurut penulis mesti dikembangkan oleh kalangan pemerhati dan penikmat sastra generasi saat ini. Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi). Dan, sastra profetik jelas kualitasnya dan kekuatan moralnya daripada sastra yang berbau seks serta kentara aspek komersial daripada kualitas karyanya.

***
Peran dunia tasawuf dalam khazanah kesusastraan Indonesia juga tak dapat dielakkan. Bukankan hidup ini memerlukan keseimbangan. Menuangkan gagasan yang melulu melangit bukanlah suatu yang tak berguna, dan menuangkan untaian sastra yang selalu membumi bukan berarti akan selalu membawa pencerahan. Jika selalu terbawa pada persoalan yang horizontal bukankah kita nanti akan terjebak dalam pernyataan bahwa spiritualitas itu adalah candu, atau membenarkan ungkapan spiritualitas itu adalah pelarian dari rasa ketakutan dalam diri manusia. Oleh karena itu, karya sastra yang membawa pencerahan jiwa dan pencerahan sosial sama-sama dibutuhkan. Sastra dapat mengekspersikan zamannya sekaligus dapat memberikan kritik terhadap zamannya.

Dalam pernyataannya, lagi-lagi Kuntowijoyo menegaskan, bahwa di setiap zaman sastra bisa berkembang. Masa depan sastra sama dengan masa depan organisasi sosial. Sastra dapat pula menjadi pembela moralitas. Jika kesadaran masyarakat menurun, sastra bisa tampil untuk menjadi profeter asal dia bervariasi di dalam tema sastranya.

Sastra profetik memang lebih progresif; menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra yang membebaskan kaum tertindas, walaupun bentuk penyadarannya melalui puisi, cerpen, novel, dan karya sastra yang lainnya. Oleh karena itu, ruang sempit sastra religius dapat menjadi luas, karya sastra yang jauh dari moralitas perlahan akan tergantikan dan lenyap terkunyah oleh zaman. Dan, ruang pencerahan yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo melalui sastra profetiknya akan berkembang serta menggelora di hati para pembaca sastra di Tanah Air. Lebih dari itu, sastra profetik menjadi inspirasi dan daya dorong kekuatan kreativitas dari munculnya karya-karya sastra baru yang membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan, bukan karya sastra yang berbau seks didagangkan.***

*) Penulis bergiat di Akademi Kebudayaan Rakyat (AKAR), Ketua Program CMM, dan Aktivis Budaya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (CMM).

0 komentar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar